Oleh: Engran Ispandi Silalahi, M.Pd.
Selama ini banyak lembaga pendidikan Islam merasa cukup dengan menjadikan hafalan Alquran sebagai simbol keberhasilan. Santri yang hafal 30 juz dielu-elukan, seolah telah menyandang mahkota keilmuan Islam. Padahal jika tidak dibarengi dengan paradigma pendidikan Qurani yang utuh, hafalan hanya menjadi prestasi individual tanpa transformasi sosial. Ini adalah ironi yang diam-diam menjerat banyak sekolah Islam modern: terjebak dalam angka, bukan makna; dalam kuantitas ayat, bukan kualitas perilaku.
Paradigma pendidikan Qurani bukanlah soal berapa juz dihafal, tetapi sejauh mana Alquran menjadi sumber pembentukan cara berpikir, cara merasa, dan cara bersikap. Dalam Alquran, Allah berulang kali menggunakan kata ya’qiluun (berakal), yatafakkaruun (berpikir), dan yaddabbaruun (merenung), yang menunjukkan bahwa orientasi utama Alquran bukan hanya dilisankan, tapi ditadabburi, diinternalisasi, dan diwujudkan dalam tindakan sosial. Tanpa tadabbur dan tafakkur, hafalan hanya menjadi bunyi tanpa ruh. Inilah yang dikritik oleh Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’an: “Alquran bukan hanya untuk dibaca atau dihafal, tetapi untuk menghidupkan hati dan mengubah realitas.”
Namun yang terjadi di banyak lembaga pendidikan Islam adalah pendekatan yang tekstual, verbalis, dan berorientasi formalistik. Pembelajaran Alquran hanya difokuskan pada tartil dan tahfidz, tanpa ruang untuk menghubungkannya dengan sains, sejarah, teknologi, atau realitas kehidupan umat. Ini menghasilkan lulusan yang saleh secara ritual tapi gagap ketika menghadapi tantangan zaman. Bahkan, banyak di antara mereka tidak memahami makna ayat yang mereka hafal, apalagi menjadikannya pijakan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Kita perlu menyadari bahwa paradigma pendidikan Qurani adalah suatu sistem nilai dan kerangka berpikir, bukan sekadar kurikulum mata pelajaran. Ia adalah worldview (pandangan hidup) yang mewarnai seluruh praktik pendidikan mulai dari cara guru mengajar, cara siswa belajar, hingga budaya lembaga itu sendiri. Dalam konteks ini, Alquran harus menjadi pusat epistemologi dan spiritualitas pendidikan, bukan sekadar materi pelajaran. Dengan paradigma ini, sains tidak akan dilihat sebagai netral, tetapi sebagai bagian dari manifestasi ayat-ayat kauniyah (alam semesta) yang saling terhubung dengan ayat-ayat qauliyah (wahyu).
Di sinilah pentingnya membangun ekosistem sekolah yang Qurani: bukan hanya mewajibkan hafalan, tapi menjadikan Alquran sebagai fondasi berpikir ilmiah, dasar berpijak moral, dan sumber inspirasi inovasi. Guru harus dilatih bukan hanya dalam metodologi pembelajaran, tetapi dalam membangun kesadaran tauhid dalam berpikir dan mendidik. Siswa bukan hanya diajarkan mengejar nilai ujian, tetapi menumbuhkan kesadaran ilahiyah (spiritualitas), akliyah (rasionalitas), dan khuluqiyah (etika) dalam kehidupannya. Di sinilah posisi penting guru Alquran sebagai murabbi, bukan sekadar pengajar.
Lembaga seperti Divisi Baitul Hikmah di bawah Yayasan Assakinah telah menyadari pentingnya membangun pendekatan ini melalui visi Qurani, sains, dan bilingual. Pendekatan integratif ini menjadi kunci agar siswa tidak hanya religius secara simbolik, tapi juga tangguh secara intelektual dan komunikatif secara global. Rumah Tahfidz Assakinah, dengan sistem nonformal dan beasiswa 100%, menjadi ruang eksperimental untuk mengembangkan pendidikan Qurani yang lebih membumi, tidak terjebak pada administrasi formal, tetapi tetap serius dalam mencetak kader umat yang cakap dan merdeka.
Masalahnya, banyak sekolah Islam merasa cukup hanya dengan mengganti kurikulum umum dengan nama-nama islami, tanpa mengubah kerangka epistemologinya. Akibatnya, sekolah Islam tumbuh di mana-mana, tetapi peradaban Islam tetap merosot. Kita tidak sedang krisis hafidz, tapi krisis pembawa misi Alquran. Paradigma pendidikan Qurani hadir untuk menjawab itu: bukan sekadar menyalin ayat, tapi menghidupkan makna ayat dalam realitas kontemporer.
Paradigma ini membutuhkan pergeseran radikal dalam cara berpikir pendidikan Islam: dari kuantitas ke kualitas, dari teks ke makna, dari hafalan ke peradaban. Inilah revolusi sunyi yang harus dimulai dari ruang kelas, dari metode guru, dari orientasi kurikulum, hingga ke visi lembaga. Pendidikan Qurani adalah jalan panjang, tapi jika tidak dimulai hari ini, maka anak-anak kita akan menghafal ayat-ayat yang tidak mereka pahami dan tidak mereka perjuangkan.
———————-
Penulisan merupakan Kadiv Baitul Hikmah Yayasan Assakinah Medan
———————-
Daftar Pustaka:
1. Sayyid Qutb. Fi Zhilal al-Qur’an. Dar al-Shuruq, 2000.
2. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. ISTAC, 1993.
3. Fazlur Rahman. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press, 1982.
4. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos, 1999.
5. Yamin, M. Burhanuddin. Paradigma Pendidikan Islam. Rajawali Pers, 2017.
6. Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam. Harvard University Press, 1968.
7. Hamid Fahmy Zarkasyi. Epistemologi Islam: Studi tentang Pandangan Epistemologis Ulama Klasik dan Modern. INSISTS Press, 2021.
8. Hasan Langgulung. Pendidikan Islam dan Perkembangannya di Dunia Islam. Pustaka al-Husna, 1992.
9. Wahid, Abdul. Membangun Paradigma Pendidikan Berbasis Al-Qur’an. Pustaka Pelajar, 2020.